Menjadi barometer untukmengenal bangsa atau kelompok tertentu. Nilai budaya yang dianutoleh masyarakat tertentu pada umumnya dianggap mutlak kebenarannya. Hal ini tampak pada perilaku yang ditampakkan oleh anggota masyarakat itu. Mereka mempunyai keyakinan bahwa apa yang dianggap benar itu dapat dijadikan panutan dalam menjalani hidup sehari hari. Selain itu, nilai budaya yang diyakini kebenarannya tersebut dapat dipergunakan untuk membantu menyelesaikan masalah yang timbul. Dengan kata lain bahwa nilai budaya tertentu yang ada dalam suatu masyarakat mempunyai suatu cara tersendiri untuk memecahkan permasalahan yang timbul dalam anggota masyarakat tersebut. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar, yang multi etnis. Dengan demikian sangat banyak nilai-nilai unik yang ada di dalam etnis bangsa Indonesia. Tiap daerah mempunyai nilai nilai khas yang sangat dijunjung tinggi oleh kelompok masyarakatnya. Kalimat tersebut mengundang suatu pertanyaan yaitu, apakah bangsa Indonesia tidak mempunyai budaya nasional? Punya!
Setelah kita merdeka dan menyatakan sebagai bangsa yang bersatu, saat itu pulalah mulai digali nilai nilai yang ada di dalam kelompok etnis bangsa Indonesia. Dalam hal ini, disusun suatu pola yang dapat mewakili budaya Indonesia secara utuh. Nilai nilai yang disatukan itu dijadikan pandangan hidup bangsa Indonesia yaitu kesatuan lima sila dalam Pancasila; Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab ,persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia (Rosjidan 1995).Kebudayaan universal atau lebih dikenal dengan kebudayaan nasional bangsa Indonesia tidak bersifat dogmatis dan statis. Hal ini memungkinkan terjadi proses penyempurnaan secara terus menerus.
Penyempurnaan ini digali dari budaya yang unik tersebut. Artinya budaya atau nilai nilai yang khas yang dimiliki oleh suku suku di Indonesia secara terus menerus memberikan sumbangan untuk sempurnanya budaya nasional ini juga untuk menjawab tuntutan jaman yang terus berkembang dan semakin maju.Ki Hajar Dewantara (1977) menjelaskan lebih lanjut tentang sifat kebudayaan yang tidak statis tersebut. Kebudayaan mempunyai tujuan untuk memajukan hidup manusia kearah keadaban. Oleh sebab itu perlu diingat bahwa:
1. Pemeliharaan kebudayaan harus bermaksud memajukan dan kebudayaan dengan tiap tiap pergantian alam dan jaman
2. Karena pengasingan (isolasi) kebudayaan menyebabkan kemunduran dan kematian, maka harus selalu ada hubung an antara kebudayaan danmasyarakat
3. Pembaharuan kebudayaan mengharuskan pula adanya hubungan dengan kebudayaanlain,yang dapat memperkembangkan (memajukan, menyempurnakan) atau memperkaya (yakni menambah) kebudayaan sendiri
4. Memasukkan kebudayaan lain, yang tidak sesuai dengan alam dan jamannya, hingga merupakan "pergantian kebudayaan" yang menyalahi tuntutan kodrat dan masyarakat selalu membahayakan;
5. Kemajuan kebudayaan harus berupa lanjutan langsung dari kebudayaan sendiri, menuju kearah kesatuan kebudayaan dunia dan tetap terus mempunyai sifat kepribadian di dalam Iingkungan kemanusiaan sedunia.
C. HAMBATAN DALAM KOMUNIKASI DAN PENYESUAIAN DIRI ANTAR BUDAYA
Ada 5 macam sumber hambatan yang nuncul dalam komunikasi dan penyesuaian diri antar budaya.
1. Sumber-sumber berkenaan dengan perbedaan bahasa
2. komunikasi non verbal
3. Stereotip
4. Kecenderungan menilai
5. Kecemasan
Inti dari proses pelayanan BK adalah komunikasi antar klien dan konselor, maka proses pelayanan BK yang bersifat antar budaya (klien dan konselor) berasal dari latar belakang budaya yang bebeda sangat peka terhadap pengaruh dari sumber-sumber hambatan komunikasi tersebut.
Perbedaan dalam latar belakang ras atau etnik, kelas sosila ekonomi dan pola bahasa menimbulkan masalah dalam hubungan konseling.
Aspek budaya tidak hanya mempengarauhi proses konseling saja, akan tetapi lebih luas lagi mempengaruhi tujuan, proses, sasaran,sensifitas dan alasan penyelenggaraan konseling.
D. SENSIFITAS BUDAYA
Konseling antar budaya akan berhasil apabila telah mengembangkan 3 dimensi kemampuan yaitu dimensi keyakinan, dan sikap pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan klien antar budaya yang akan dilayani.
Konselor tidak dipersiapkan secara khusus untuk menangani klien-klien yang latar belakang budaya, suku atau ras, dan kelompok- Kelompk sosial ekonomi tertentu, akan tetapi menangani klien yang bersifat antar budaya atau bahkan multi budaya.
Kebutuhan akan konseling antar budaya di Indonesia makin terasa, mengingat penduduk Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang memilki beraneka corak sub-kultur yang berbeda-beda karakteristik sosial budaya masyarakat yang majemuk itu tidak dapat diabaikan dalam perencanaan dan penyelenggaraan bimbingan dan konseling. Pelayanan BK yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan dan meningkatkan mutu kehidupan serta martabat manusia Indonesia harus berakar pada budaya bangsa Indonesia sendiri. Hal ini berarti bahwa penyelenggaraan BK harus dilandasi dan mempertimbangkan keanekaragaman sosial budaya yang hidup dalam masyarakat, disamping kesadaran akan dinamika sosial budaya itu menuju masyarakat yang lebih maju.(Adhiputra,2010.190)
Ketika koselor dan klien secara bersama dalam budaya yang sama, konselor mempercayakan intuitively atas penerimaan secara bersama sama untuk menyempurnakan diluar tujuan klien, Dan atas pemahaman pribadinya untuk memenuhi jurang pemisah dalam lantar belakang diri klien.ketika participant budaya konseling dibedakan, konselor sering kurang menyimpulkan secara implicit untuk menciptakan image coherent pada diri klien. Seperti aspek-aspek yang signipikan pada persepsi,ingatan, dan sisa sejarah yang membisu.Waktu yang mengiris pada sesi konseling akan memperluas horizontally yang meliputi sejarah dan masa depan klien, serta ketegak lurusan ke penggabungan makna budaya itu.
Interaksi antar konselor dengan klien mungkin dapat dilihat sebagai intervensi disengaja dalam aktivitas klien- konstruk wawasan dan pemahamanya, serta kebaikannya untuk memuaskan klien atas efektivitas yang diperbaiki.para partisipan semestinya menciptakan setiap interface akan menompang hubungan konseling dan menompang mampaat penerimaan interface klien yang begitu luas adalah dibutuhkan dengan sungguh-sungguh dan kehangatan, serta membangkitkan rasa empatinya. Konsep ahirnya adalah mengkritisi komonikasi antar budaya, semenjak di sarankan empati ketentuan pertalian dan hubungan berdasarkan atas kesamaan antar kedua partisipan konseling antar budaya, mungkin tidak adanya definisi interaksi yang akurat secara menyeluruh, semenyak empati, menjelaskan pemahaman orang lain atas kesulitan bersama, tidak akan terjadi. Sebelum menjauhi kemungkinan konseling antar budaya, kita selalu melihat kebutuhan yang serupa untuk menompang empati.
Membangun suatu proses berbaris psikologi, budaya belajar ( cultural learning ) mungkin menentukan seprangkat persepsi persamaan yang lebih menemukan perbedaanya. Jika laboratory ditemukan akan bias memperluas level persepsi social, kita dapat melakukan hipotesis yaitu sebagian masyarakat Amerika, sebagai contoh, budaya belajar mendorong persepsi yang sama dengan yang lainya, orang Perancis ( French ) mungkin predisposition untuk menerima suatu perbedaan. Pengamatan secara umum yang dibutuhkan adalah untuk memperkuat atau juga untuk menolaknya.
Skala empati telah menyempatkan suatu keberhasilan dan ketercapaian yang tidak dapat dibandingkan status nominalnya dalam masyarakat Amerika, status yang tak dibutuhi tanda ( unmarked ) akan memperkeruh salah satu konotasi negative atau makna fungsi negative. Dalam sejarah psikologi gous bac di Amerika di tahun 1903 ketika Titchener menterjemahkan tulisan dari Theodore Lipps ( 1903 ), khususnya dia menterjemahkan ke konsep “Einfuhlung as emnpathy”. Masyarakat penduduk asli Jerman mengenai suatu pengalaman aesthetic dan arti dari cara berbaring rapat menirukan motor ( Adhiputra,2010,192 ). Itu hanya akan berakhir ketika konsep yang di peroleh artinya pada kecakapan umum untuk memahami orang lain.
Arti dari empati adalah suatu perubahan bagi masyarakat Amerika, teristimewa oleh nilai-nilai empati yang menekankan kesamaan dan persepsi mereka sendiri. Definisi empati sekarang adalah sering membingungkan dengan kedua potensi interface antara persons – sympathy, suatu konsep yang lama dalam sejarah yang sulit. Pada waktu yang terdahulu Adam Smith pada penjelasan akhirnya merasakan suatu keburukan ( disrepute ) dan mengetahuinya adanya batas terutama untuk permintaan dari rasa keharuan ( compassion ) dan untuk studi anak-anak ( Adhiputra,2010.193 ).
Menandakan suatu kondensasi proses konseling pada seluruh pengalaman hidup individu, menekankan sebagian pengalaman lebih dari yang lain. Situasi konseling adalah “simulacrum” pada tempat kehidupan klien. Hal tersebut dipersepsikan sebagai suatu yang usang (timeworn) dan sulit dianalisis, tapi kita telah memiliki saat putaran teknologi dan menggunakan prinsip-prinsip hologram sebagai model untuk situasi konseling. Dalam informasi hologram dalam mengamati catatan atas lapisan hologram dalam bentuk campur tangan yang kompleks, pola-pola yang kelihatan tak berarti. Ketika pola-pola itu diterangi oleh cahaya yang masuk akal bagaimanapun kesan originalnya adalah direkontruksi proses yang parallel terhadap rekontruksi dalam interaksi antara konselor dengan klien.
Klarifikasi teoritis dan praktis terhadap empati masih meninggalkan satu pertanyaan ,yaitu:bagaimana setiap orang,konselor,dapat ,memiliki suatu pemahaman terhadap kesadaran pada orang laen ,seperti klien. Untuk menggenggam emati secara natural ,suatu pengertian apa yang terjadi terjadi dalam persepsi pada setiap peristiwa itu
E. KARAKTERISTIK KONSELOR
Dari ulasan diatas agar berjalan efektif konselor dalam hal ini dituntut untuk mempunyai kompetensi atau kemampuan yang luas. Tetapi dalam hal ini perlu pula disajikan karakteristik atau ciri ciri khusus dari konselor yang melaksanakan layanan konseling lintas budaya. Sue (Dalam George & Cristiani: 1990) menyatakan beberapa karakteristik konselor sebagai berikut:
1. Konselor lintas budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimilikinya dan sumsi asumsi terbaru tentang perilaku manusia. Dalam hal ini, konselor yang melakukan praktik konseling lintas budaya, seharusnya sadar bahwa dia memiliki nilai nilai sendiri yang harus dijunjung tinggi. Konselor harus sadar bahwa nilai nilai dan norma norma yang dimilikinya itu akan terus dipertahankan sampai kapanpun juga. Di sisi lain, konselor harus menyadari bahwa klien yang akan dihadapinya adalah mereka yang mempunyai nilai nilai dan norma yang berbeda dengan dirinya. Untuk hal itu, maka konselor harus bisa menerima nilai nilai yang berbeda itu dan sekaligus mempelajarinya.
2. Konselor lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara umum.
Konselor dalam melaksanakan konseling sebaiknya sadar terhadap pengertian dan kaidah dalam melaksanakan konseling. Hal ini sangat perlu karena pengertian terhadap kaidah kanseling yang terbaru akan membantu konselor dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh klien. Terutama mengenai kekuatan baru dalam dunia konseling yaitu konseling lintas budaya.
3. Konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan, dan mereka harus mempunyai perhatian terhadap lingkungannya. Konselor dalam melaksanakan tugasnya harus tanggap terhadap perbedaan yang berpotensi untuk menghambat proses konseling. Terutama yang berkaitan dengan nilai nilai atau norma norma yang dimiliki oleh suku suku tertentu. Terlebih lagi, jika konselor melakukan praktek konseling di indonesia. Dia harus sadar bahwa Indonesia mempunyai kurang lebih 357 etnis, yang tentu saja membawa nilai nilai dan norma yang berbeda. Untuk mencegah timbulnya hambatan tersebut, maka konselor harus mau belajar dan memperhatikan lingkungan di mana dia melakukan praktik. Dengan mengadakan perhatian atau observasi nilai-nilai lingkungan di sekitarnya, diharapkan konselor dapat mencegah terjadinya kemandegan atau pertentangan selama proses konseling.
4. Konselor lintas budaya tidak boleh mendorong seseorang (klien) untuk dapat memahami budayanya (nilai-nilai yang dimiliki konselor) Untuk hal ini, ada aturan main yang harus ditaati oleh setiap konselor. Konselor mempunyai kode etik konseling, yang secara tegas menyatakan bahwa konselor tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada klien. Hal ini mengimplikasikan bahwa sekecil apapun kamauan konselor tidak bolah dipaksakan kepada klien.Klien tidak boleh diintervensi oleh konselor tanpa persetujuan klien.
5. Konselor lintas budaya dalam melaksanakan konseling harus mempergunakan pendekaten eklektik Pendekatan eklektik adalah suatu pendekatan dalam konseling yang mencoba untuk menggabungkan beberapa pendekatan dalam konseling untuk membantu memecahkan masalah klien. Penggabungan ini dilakukan untuk membantu klien yang mempunyai perbedaan gaya hidup. Selain itu, konseling eklektik dapat berupa penggabungan pendekatan konseling yang ada dengan pendekatan yang digali dari masyarakat pribumi (indegenous).
BAB III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN.
Dari uraian diatas dapat kami simpulkan bahwa kebudayaan memiliki 3 tingkatan perbedaan yaitu: (1) budaya tingkat interpersonal,(2)budaya dalam tingkat kelompok etnis,dan yang ke (3) adalah sosial budaya yang terdapat didalam satu etnis terkecil. Dan ada 5 macam sumber hambatan yang nuncul dalam komunikasi dan penyesuaian diri antar budaya diantaranya(1). Sumber-sumber berkenaan dengan perbedaan bahasa(2). komunikasi non verbal(3). Stereotip(4). Kecenderungan menilai.dan (5)Kecemasan.
Supaya konseling bisa berjalan efektip konselor hendaknya mempunyai kompetensi atau kemampuan yang luas dan karakteristik sebagai berikut;(1)Konselor lintas budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimilikinya dan sumsi asumsi terbaru tentang perilaku manusia. (2)Konselor lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara umum.(3) Konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan, dan mereka harus mempunyai perhatian terhadap lingkungannya.(4) Konselor lintas budaya tidak boleh mendorong seseorang (klien) untuk dapat memahami budayanya (nilai-nilai yang dimiliki konselor) dan(5) Konselor lintas budaya dalam melaksanakan konseling harus mempergunakan pendekaten eklektik.
3.2 SARAN-SARAN
Saran yang dapat kami berikan adalah agar individu pada umumnya mahasiswa BK kususnya dapat mendalami materi dalam makalah ini agar dapat mengefektifkan dalam segi kinerjanya nanti. Serta dapat menambah wawasan tantang materi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adhipura.2010.Konseling lintas budaya.Denpasar:cv.kayumas agung.
Ahmadi,Abu.1986.AntropologiBudaya.Surabaya:Pelangi